Contoh Seni Kebudayaan Suku Jawa

Contoh seni kebudayaan suku jawa – Suku Jawa tidak dinisbatkan kepada semua masyarakat pribumi penghuni pulau Jawa. Di pulau Jawa sendiri terdapat sejumlah suku bangsa lain selain suku Jawa.

Istilah untuk suku Jawa lebih identik bagi penduduk yang menggenggam kuat filosofis atau pandangan hidup Kejawen. Secara geografis mencakup Jawa tengah, Jogjakarta dan Jawa Timur. Jawa Timur juga masih variasi karena didalamnya masih tetap ada suku Madura, suku Tengger atau Suku Osing di Banyuwangi. Contoh seni kebudayaan suku Jawa yaitu hasil dari warisan sejarah kerajaan besar Jawa utamanya Majapahit dan Mataram Baru.

Filosofis hidup suku Jawa yang paling dasar benar-benar dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu, Budha dan keyakinan animisme-dinamisme. Orang jawa secara umum sangatlah menjunjung tinggi keselarasan, kecocokan dan kesesuaian hidup baik pada setiap orang atau dengan lingkungan alam.

Dalam norma sehari-harinya begitu memprioritaskan etika kesopanan, kesantunan dan kesederhanaan. Oleh karenanya, dialog bahasa Jawa mempunyai tingkatan-tingkatan bahasa sesuai lawan berbicara yang ditemui. Untuk memperjelasnya, berikut beberapa hal yang memberikan identitas contoh seni kebudayaan suku jawa adalah :

1. Tuntunan Kejawen

Tuntunan Kejawen

Kejawen bagi penduduk Jawa asli hampir menjadi seperti agama tersendiri. Tuntunan kejawen pada prinsipnya sebagai gabungan dari seni, budaya, tradisi ritual, sikap sosial, dan beragam pandangan filosofi penduduk Jawa.

Bagi penduduk Jawa yang menggenggam kuat tuntunan asli kejawen, panutan ajaran ini menjadi nilai spiritualitas tertentu. Masyarakat Jawa memiliki kitab kejawen yang disalin dari kitab-kitab karya para Mpu pada era kerajaan Jawa.

Syekh Siti Jenar yang populer dengan ide ide ‘manunggaling kawula lan gusti’, sebagai salah satu figur yang tidak bisa dilepaskan dari munculnya tuntunan kejawen. Sebagai pokok tuntunan, kejawen mengajari manusia atas sesuatu yang disebutkan ‘Sangkan Paraning Dumadhi’ (kembali pada sang pencipta).

Setelah itu membuat dan mengarahkan manusia untuk sesuai dengan Tuhannya (manunggaling kawula lan gusti). Jika setiap manusia harus melakukan tindakan sesuai perlakuan dan karakter Tuhan.

Untuk menggapai tujuan itu maka orang Jawa sering lakukan ‘laku’ atau perlakuan untuk membentuk pribadi yang sesuai Tuhan. Salah satunya dengan melakukan ‘pasa’ atau berpuasa dan ‘tapa’ atau melaksanakan pertapaan. Disini letak kejawen sebagai wujud spiritualitas suku Jawa.

2. Filosofis Hidup

seni kebudayaan suku jawa

Orang jawa pada intinya mempunyai banyak filsafat hidup yang dijadikan patokan bermasyarakat. Tetapi ada tujuh filosofis dasar yang sekurang-kurangnya mendeskripsikan sikap budaya suku Jawa, yakni :

  • Urip iku urup, (hidup itu menyala), artinya yaitu jika hidup sebagai manusia sebaiknya mempunyai manfaat untuk manusia lain dan lingkungan alam sekitar.
  • Ojo Keminter Mengko Keblinger, Ojo Cidro Mundak Ciloko, (tidak boleh jadi orang yang tinggi hati dengan kecerdasan dan tidak boleh sakiti orang supaya tidak dicelakai), artinya hidup sebaiknya rendah hati dan selalu sportif.
  • Ojo Ketungkul Marang Jenenge Kalenggahan, Kadunyan lan Kemareman, (tidak boleh menjadi orang yang cuman memburu kedudukan, harta dan kenyamanan), artinya tidak boleh terlampau mementingkan kedudukan/pangkat, harta dan kepuasan dunia.
  • Wong Jowo Kuwi Mudah Ditekak-tekuk, (orang jawa itu gampang untuk diarahkan), artinya jika orang Jawa itu mudah untuk menyesuaikan dengan beragam situasi lingkungan.
  • Memayu Hayuning ing Bawana, Ambrasta dur Hangkara (membentuk kebaikan dan mencegah kemungkaran), artinya yaitu hidup di dunia harus banyak-banyak membuat atau memberikan kebaikan dan memberantas sikap angkara murka.
  • Mangan ora mangan sing penting kumpul (kebersamaan harus diprioritaskan), artinya yaitu jika kebersamaan dan bergotong-royong itu lebih berarti dari yang selainnya.
  • Nrimo Ing Pandum, (terima pemberian dari yang kuasa), artinya yakni harus selalu mengucapkan syukur pada apa yang telah dimiliki dan diberi oleh Tuhan.

3. Keris

Keris Jawa

Keris sebagai senjata tradisionil dan juga merupakan seni kebudayaan suku Jawa. Untuk keris sendiri selain menjadi senjata tradisionil suku Jawa menjadi ikon kedaulatan raja-raja pada kerajaan luar Jawa. Bagi orang Jawa, keris tidak sederhana yang hanya merupaka senjata saja.

Lebih dari pada itu, keris merupakan senjata pusaka yang dipercaya oleh sebagai orang mempunyai atau menyimpan kesaktian. Oleh karenanya keris disebutkan sebagai ‘tosan aji’ (alat yang mempunyai kesaktian).

Dalam beberapa legenda riwayat ada banyak keris yang dipandang begitu spesial. Keris Mpu Gandring yang diambil oleh Ken Arok, sanggup membuat Ken Arok sebagai penguasa kerajaan Singasari.

Selain itu, keris Nagasasra dan keris sabuk Inten yang populer dari kerajaan Demak. Keris Sunan Kudus yang dikatakan ‘sunan kober’ dan sebagai senjata pamungkas dari Arya Penangsang sudah sanggup memberi kekuasaan.

Sebagai ‘tosan aji’, keris begitu amat dipercaya kesaktiannya karena proses pembikinannya yang telah dilakukan oleh para Mpu (istilah untuk pembuat keris) selalu disertai dengan laku spiritualitas seperti puasa dan bertapa.

Selain kekuatan mengolah kualitas bahan material, para Mpu masukkan beragam mantra dan do’a pada keris yang dibikinnya. Bahkan juga jumlah ‘luk’ (lekukan) yang ada di keris menyimpan arti kesaktian yang terpendam.

4. Aksara Jawa

Aksara Jawa

Contoh seni kebudayaan suku jawa lainnya adalah aksara jawa. Suku Jawa mempunyai huruf tulisan yang dikenal dengan aksara Jawa. Aksara Jawa terbagi dalam 20 karakter huruf yang menyimpan arti dan filosofi masing-masing.

Huruf-huruf itu yakni Ha Na Ca Ra Ka Da Ta Sa Wa La Pa Dha Ja Ya Nya Ma Ga Ba Tha Nga. Begitu banyak versi sejarah dan legenda yang menyampaikan asal mula munculnya aksara Jawa ini. Tetapi yang paling populer antara kalangan masyarakat Jawa ialah cerita babad Ajisaka.

Babad Ajisaka menceritakan mengenai pengembaraan seorang penguasa kerajaan Jawa Kuno yang ditemani dengan seorang abdi (pembantu). Dalam perjalanannya, Ajisaka meninggalkan keris punyanya di tengah-tengah rimba dan memerintah abdinya itu untuk jaga keris tersebut dan jangan sampai diserahkan kepada siapapun kecuali pada Ajisaka sendiri. Ajisaka lantas meneruskan pengembaraannya seorang diri.

Setelah beberapa waktu berlalu, Ajisaka kembali lagi ke kerajaan dan setelah sekian lama memerintah kerajaan dia baru terpikir akan keris pusakanya yang dia tinggalkan saat pengembaraan. Dari sana lalu Ajisaka mengutus seorang utusan untuk ke rimba mengambil keris itu. Dia memberi pesan pada utusannya jika jangan sampai kembali lagi ke kerajaan saat sebelum dia membawa keris pusakanya.

Di tengah-tengah rimba utusan kerajaan ini merasakan keris pusaka Ajisaka yang sedang dijaga dengan seorang abdi. Kedua orang yang pada hakekatnya sebagai utusan Ajisaka ini setelah itu saling berebutan keris karena mereka saling menggenggam dengan kuat amanah perintah majikannya. 2 orang ini selanjutnya turut serta pertempuran yang membuat ke-2 nya meninggal.

Setelah itu, Ajisaka baru terpikir jika dia tinggalkan keris itu bersama dengan salah satu abdi setianya. Ajisaka susul ke rimba, tetapi dia merasakan ke-2 utusannya sudah meninggal. Untuk menghargai utusannya yang setia berikut lalu Ajisaka merumuskan tulisan yang setelah itu dikenali sebagai aksara Jawa. Filosofisnya,

  • HaNaCaRaKa : ada dua utusan setia
  • DaTaSaWaLa : saling berkelahi/bertanding
  • PaDaJaYaNya : sama saktinya
  • MaGaBaThaNga : sama matinya.

5. Seni Tarian

Seni Tarian Jawa

Orang Jawa dikenali sebagai penduduk yang berbudaya. Begitu banyak seni tari yang merupakan hasil olah cipta, rasa dan karsa orang Jawa. Sampai juga antara orang Jawa di Jawa Timur, Jawa tengah, dan Jawa Barat, mempunyai tarian khasnya masing-masing.

Benang merah seni tari suku Jawa berada pada tata tari yang luwes, tenang dan sopan. Mendeskripsikan filosofis hidup suku Jawa yang condong menerima, selalu adaptive dengan semua situas dan keadaan serta mementingkan tata krama.

Seperti keyakinan yang dipercayai suku Jawa, dalam kesenian tari yang dibuat juga tidak lepas dari unsur magic dan keramatitas. Kesenian tari seperti reog, tari sintren, tari kuda lumping, sebagai contoh kesenian tari yang paling kental dengan kemampuan supranatural.

Daerah lingkungan keraton Jogjakarta dikenal tari ‘bedhaya ketawang’ yang paling disakralkan oleh orang Jawa disana. Keramatitas ini terkait dengan keyakinan jika tari bedhaya ketawang ini sengaja dibuat oleh Nyi Roro Kidul penguasa laut selatan sebagai wujud sajian untuk penguasa Kerajaan keraton Jogja penguasa tanah Jawa.

Tarian ini ditarikan oleh sembilan orang wanita dan hanya dipentaskan untuk sejumlah acara tertentu saja yang bersangkutan dengan hajat keraton/kerajaan. Pagelaran tari bedhaya ketawang dibarengi oleh musik gamelan yang ritmenya amat lembut dan perlahan.

Pergerakan tarinya juga juga lembut, sehingga membuat orang yang menyaksikannya seakan-akan tersihir dengan gerak dan alunan musiknya. Diakui jika saat dilaksanakan pagelaran tari ini, secara supranatural Nyi Roro Kidul selalu datang dan turut menari bersama dengan 9 wanita yang menarikan tarian ini.

Baca jugaKesenian Daerah Suku Bugis dan Sejarahnya

6. Wayang Kulit

contoh seni suku jawa

Contoh seni kebudayaan suku jawa lainnya adalah wayang kulit. Wayang kulit adalah salah satu seni kebudayaan suku Jawa yang cukup khas. Tetapi, wayang sendiri datang dari kata ‘ayang-ayang´ yang berarti bayang-bayang.

Wayang kulit Jawa mempunyai perbedaan dengan wayang golek Sunda. Bagi suku Jawa, narasi pewayangan selalu menggambarkan wujud kehidupan manusia di dunia, yaitu peperangan pada angkara murka dan perjuangan untuk membentuk kebaikan. Hal tersebut sesuai konsep filosofis hidup yang selalu digenggam kuat oleh orang Jawa.

Permainan kesenian wayang kulit mulai menyebar luas saat para wali songo kerap memakai wayang kulit sebagai media dakwah Islam. Secara umum narasi dan penokohan pada kesenian wayang kulit diambil dari cerita Mahabarata dan Ramayana.

Tetapi pada versi pewayangan Jawa, narasi itu telah banyak dilaksanakan pengubahan. Wayang purwa sebutan lain untuk wayang kulit biasa dimainkan dengan seorang narator yang dikatakan dalang. Dalang ini bertugas untuk mengendalikan jalannya narasi dan memainkan gerak para figur wayang kulit.

Selain mempunyai unsur kesenian, wayang kulit dipercayai oleh orang Jawa mempunyai nilai magic tertentu. Pagelaran wayang kulit dipercayai sanggup datangkan kekuatan-kekuatan magic dari roh nenek moyang atau kemampuan magic yang datang dari Tuhan.

Oleh karena itu pagelaran wayang kulit sebagai media penting saat orang Jawa melaksanakan ruwatan. Ruwatan adalah wujud acara atau upacara untuk membuang ‘bala’ (kesulitan dan kemalangan). Dengan diruwat orang Jawa mengharapkan hidupnya dapat keluar dari segala kesusahan dan musibah.

7. Bahasa

contoh seni budaya suku jawa

Seni kebudayaan suku jawa lainnya terdapat pada bahasanya. Bahasa Jawa sebagai salah satu bahasa yang mempunyai stratifikasi atau jenjang bahasa. Orang Jawa begitu menjunjung tinggi norma kesopanan dan kesantunan termasuk dalam soal menggunakan bahasa.

Dengan bahasa Jawa dikenal yang bernama undhak-undhuk atau tata krama dalam berucap kata. Paling tidak ada tiga susunan jenjang bahasa yang ada dalam bahasa Jawa, jenjang itu :

  • Ngoko, bahasa ngoko sebagai bahasa yang dipakai jika lawan bicara adalah orang yang seumuran atau kerabat yang telah dekat dan akrab. Secara spesifik dipakai oleh orang yang lebih tua terhadap orang yang lebih muda.
  • Madya, bahasa madya sebagai bahasa yang dipakai terhadap lawan bicara yang umurnya lebih tua atau sekedar penghormatan kepada orang yang sama sekali kurang mengenalinya.
  • Krama, bahasa krama sebagai jenjang paling tinggi dalam bahasa Jawa. Dipakai untuk bicara kepada orang yang yang lebih tua atau dituakan, dan kepada orang yang mempunyai status sosial tinggi pada masyarakat.

Bahasa Jawa sendiri masih terdiri ke dalam beberapa aksen yang berbeda. Seperti aksen orang Jawa di Jawa Timur dengan orang Jawa di Jawa tengah atau Jawa Barat, mempunyai susunan penuturan dan logat yang berlainan. Tetapi konsep undhak undhuk tetap berlaku walau aksen dan penuturan mempunyai ketidak samaan.

8. Seni Musik

Seni Musik Jawa

Alat musik tradisional Jawa biasa dikenal dengan gamelan. Untuk gamelan sendiri adalah kombinasi dari beberapa alat musik pukul seperti gong, kendang, saron, bonang, kenong, demung, slenthem, gambang dan kempul. Gamelan biasa dipakai untuk menyertai kesenian tari atau kesenian suara yang umumnya dikenal dengan karawitan. Gamelan biasa dipakai sebagai pengiring pagelaran wayang kulit.

Pada zaman dahulu alat musik gamelan biasa menjadi media dakwah beberapa walisongo. Mereka memakai gamelan sebagai alat untuk memberikan hiburan ke warga saat sebelum atau setelah mereka memberi ceramah-ceramah agama.

Dengan media ini warga Jawa gampang untuk diperkenalkan dengan Islam dan saat ini sebagian besar Suku Jawa merupakan orang-orang yang memeluk Islam. Tak hanya itu, di Jawa alat musik gamelan dikenal juga pada beberapa suku bangsa lainnya sebagaimana pada kebudayaan Sunda. Bahkan juga kebudayaan Suku Banjar yang berada di luar Jawa memakai gamelan sebagai salah satu alat musiknya.

Seni kebudayaan Suku Jawa adalah salah satu yang paling tua di Indonesia. Banyak seni kebudayan suku bangsa lain di Indonesia yang kurang lebih berakulturasi dengan budaya penduduk Jawa. Baik pada bahasa, filosofis, atau kesenian-keseniannya.

Sampai sekarang ini adat-istiadat suku Jawa ini masih dipegang kuat dan terus ditradisikan, terutamanya pada lingkungan Keraton wilayah istimewa Jogjakarta.

Demikian penjelasan seputar contoh seni kebudayaan suku jawa. Untuk kamu yang ingin mendapatkan informasi dan ilmu-ilmu menarik lainnya, ikuti terus gudangedukasi.com dan dukung terus gudangedukasi.com agar terus berkembang.

Tinggalkan komentar

%d blogger menyukai ini: